Putusan MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Lokal Picu Polemik Konstitusi di DPR

Pemisahan pemilu nasional dan lokal oleh MK memicu polemik di DPR. Temukan kritik dari berbagai pihak, solusi diusulkan, dan dampak terhadap demokrasi.

image cover
leaderboard

Tanggal Publikasi

4 Jul 2025

update

Sumber Berita

7 sumber

newspaper

Total Artikel

16 artikel

article

Overview

```html

Mahkamah Konstitusi memisahkan pemilu nasional dan daerah mulai 2029, memicu polemik. Putusan ini dikritik karena berpotensi menimbulkan krisis konstitusional terkait kekosongan jabatan DPRD. DPR akan membahas putusan ini, sementara beberapa pihak menganggap MK melampaui kewenangannya. Sebagian mengapresiasi putusan ini demi pemilu berkualitas.

```

⚖️ Putusan Mahkamah Konstitusi

  • Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pemisahan penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah dengan jeda 2 hingga 2,5 tahun, dimulai pada tahun 2029.
  • Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
  • Keputusan ini secara efektif membatalkan model pemilu serentak lima kotak yang merupakan hasil putusan MK sebelumnya.

🗣️ Kritik dan Polemik

  • Ketua DPR RI, Puan Maharani, menyatakan fraksi-fraksi di DPR akan mengadakan rapat koordinasi informal untuk membahas putusan ini.
  • Mantan Menko Polhukam, Mahfud MD, mengkritisi putusan ini karena berpotensi menimbulkan krisis konstitusional dan ketidakpastian hukum.
  • Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan (K3) MPR RI, Taufik Basari, menilai putusan ini dilematis dan melanggar Pasal 22E Ayat 2 UUD 1945.
  • Anggota Komisi III DPR, Habiburokhman, menyatakan MK melampaui kewenangannya terkait open legal policy dan bertentangan dengan putusan sebelumnya.
  • Ketua Fraksi PKB DPR RI, Jazilul Fawaid, mempertanyakan kewenangan MK yang ikut mengatur penormaan undang-undang dan menyoroti beban kerja serta anggaran partai politik.

⚠️ Dampak Potensial

  • Putusan ini berpotensi menyebabkan kekosongan jabatan anggota DPRD karena tidak ada mekanisme pengisiannya selama dua tahun.
  • Dikhawatirkan terjadi pembengkakan anggaran negara dan praktik jual-beli jabatan kepala daerah akibat putusan ini.
  • MK dianggap tidak mempertimbangkan dampak luas terhadap sistem kepartaian, pemerintahan daerah, otonomi daerah, dan keuangan negara.

🤝 Respons dan Harapan

  • Wakil Ketua Umum II DPP Partai Perindo mengapresiasi putusan MK sebagai langkah penting menuju pemilu yang lebih berkualitas dan berintegritas.
  • Komisi III DPR RI mendesak MK untuk memberikan penjelasan terkait putusan ini kepada pemerintah dan DPR guna menjaga marwah MK.
  • Semua pihak diajak untuk mengawal proses implementasi putusan ini dan mencari solusi terbaik atas polemik yang ada.

Apa putusan terbaru Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penyelenggaraan pemilu?

keyboard_arrow_down

Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan penting, yaitu Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, yang memutuskan untuk memisahkan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan pemilu daerah. Pemilu nasional mencakup pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta Presiden dan Wakil Presiden. Sementara itu, pemilu daerah meliputi pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi/Kabupaten/Kota, serta Kepala dan Wakil Daerah.

Putusan ini secara efektif membatalkan model pemilu serentak lima kotak yang merupakan hasil putusan MK sebelumnya, yang berarti pemilu nasional dan daerah tidak lagi dilaksanakan secara bersamaan dalam satu waktu.

Kapan sistem pemilu yang baru ini akan mulai diterapkan?

keyboard_arrow_down

Sistem pemilu yang baru ini, dengan pemisahan antara pemilu nasional dan daerah, akan mulai diterapkan pada tahun 2029. Menurut putusan MK, akan ada jeda waktu sekitar 2 hingga 2,5 tahun antara pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah.

Siapa yang mengajukan permohonan putusan pemisahan pemilu ini ke MK?

keyboard_arrow_down

Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 ini diajukan melalui permohonan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Alasan utama di balik putusan ini adalah untuk mengatasi berbagai permasalahan yang muncul dari model pemilu serentak lima kotak sebelumnya, seperti beban kerja yang sangat berat bagi penyelenggara pemilu, kompleksitas bagi pemilih, serta potensi masalah dalam integritas dan kualitas pemilu.

Apa saja kritik dan kekhawatiran utama terhadap putusan MK ini?

keyboard_arrow_down

Putusan MK ini memicu polemik dan kritik luas dari berbagai pihak, terutama terkait beberapa poin utama:

  • Potensi Krisis Konstitusional dan Ketidakpastian Hukum: Mantan Menko Polhukam, Mahfud MD, dan Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan (K3) MPR RI, Taufik Basari, menyoroti potensi kekosongan jabatan anggota DPRD karena tidak ada mekanisme pengisiannya jika masa jabatan mereka tidak dapat diperpanjang atau dikosongkan selama dua tahun. Hal ini dianggap melanggar Pasal 22E Ayat 2 UUD 1945 yang mengatur pemilu DPRD setiap lima tahun sekali, serta Pasal 18 Ayat 2 dan 3 UUD 1945 yang mengharuskan pemerintah daerah memiliki DPRD.
  • MK Melampaui Kewenangan (Positive Legislator): Beberapa pihak, termasuk Taufik Basari, Habiburokhman (Anggota Komisi III DPR RI), dan Muhammad Khozin (Anggota Komisi II DPR), mengkritik MK yang dianggap bertindak sebagai 'positive legislator' (pembuat undang-undang) alih-alih 'negative legislator' (pembatal undang-undang). Mereka menilai MK telah melampaui kewenangannya terkait open legal policy dan bahkan bertentangan dengan putusan MK sebelumnya yang bersifat final dan mengikat.
  • Dampak Praktis dan Anggaran: Ketua Fraksi PKB DPR RI, Jazilul Fawaid, dan Senator asal Papua Barat Daya, Paul Finsen Mayor, menyoroti potensi pembengkakan anggaran negara dan beban kerja serta anggaran partai politik yang meningkat akibat pemisahan pemilu. Selain itu, ada kekhawatiran mengenai dampak luas terhadap sistem kepartaian, pemerintahan daerah, otonomi daerah, dan potensi praktik jual-beli jabatan kepala daerah.

Bagaimana putusan ini memengaruhi masa jabatan anggota DPRD?

keyboard_arrow_down

Putusan MK ini menimbulkan kekhawatiran serius terkait masa jabatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Jika pemilu daerah baru dilaksanakan 2 hingga 2,5 tahun setelah pemilu nasional (yang berarti setelah masa jabatan DPRD saat ini berakhir), maka akan terjadi kekosongan jabatan anggota DPRD. Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan (K3) MPR RI, Taufik Basari, menegaskan bahwa masa jabatan DPRD tidak dapat diperpanjang atau dikosongkan selama dua tahun karena hal tersebut akan melanggar:

  • Pasal 22E Ayat 2 UUD 1945: Yang secara eksplisit mengatur bahwa pemilihan anggota DPRD dilaksanakan setiap lima tahun sekali.
  • Pasal 18 Ayat 2 dan 3 UUD 1945: Yang mengharuskan pemerintah daerah memiliki DPRD sebagai bagian integral dari struktur pemerintahan daerah.

Kekosongan ini berpotensi menimbulkan krisis konstitusional karena pemerintahan daerah tidak dapat berfungsi secara optimal tanpa adanya lembaga legislatif daerah.

Apa saja implikasi finansial dan praktis dari pemisahan pemilu ini?

keyboard_arrow_down

Pemisahan pemilu ini diperkirakan akan memiliki beberapa implikasi praktis dan finansial:

  • Beban Anggaran Negara: Senator Paul Finsen Mayor dan Ketua Fraksi PKB DPR RI Jazilul Fawaid menyoroti potensi pembengkakan anggaran negara karena penyelenggaraan dua pemilu besar dalam waktu yang berbeda akan membutuhkan alokasi dana yang lebih besar untuk logistik, honorarium petugas, dan sosialisasi.
  • Beban Kerja dan Anggaran Partai Politik: Partai politik juga akan menghadapi peningkatan beban kerja dan anggaran. Mereka harus mempersiapkan dua kampanye besar dalam rentang waktu yang relatif dekat, yang membutuhkan sumber daya finansial dan tenaga yang lebih besar.
  • Dampak pada Sistem Kepartaian dan Pemerintahan Daerah: Jazilul Fawaid menambahkan bahwa MK tidak mempertimbangkan dampak luas terhadap sistem kepartaian, pemerintahan daerah, dan otonomi daerah. Pemisahan ini bisa mengubah dinamika politik lokal dan nasional, serta cara kerja pemerintahan daerah.
  • Potensi Jual-Beli Jabatan: Paul Finsen Mayor juga mengkhawatirkan potensi praktik jual-beli jabatan kepala daerah yang mungkin meningkat akibat dinamika baru ini.

Bagaimana tanggapan berbagai pihak, termasuk partai politik dan lembaga negara, terhadap putusan ini?

keyboard_arrow_down

Putusan MK ini mendapatkan beragam respons dari berbagai pihak:

  • DPR RI: Ketua DPR RI, Puan Maharani, menyatakan bahwa fraksi-fraksi di DPR akan mengadakan rapat koordinasi informal untuk membahas putusan ini, dengan delapan fraksi masih mengkaji secara internal. Komisi III DPR RI juga telah mengadakan rapat dengar pendapat umum dengan sejumlah ahli hukum dan mantan hakim MK untuk mendapatkan masukan.
  • Kritikus dari Kalangan Ahli dan Mantan Pejabat: Mahfud MD, Taufik Basari, Habiburokhman, Muhammad Khozin, dan Jazilul Fawaid secara umum mengkritik putusan ini karena potensi krisis konstitusional, ketidakpastian hukum, dan anggapan bahwa MK melampaui kewenangannya.
  • Pihak yang Mengapresiasi: Wakil Ketua Umum II DPP Partai Perindo, Ferry Kurnia Rizkiyansyah, mengapresiasi putusan MK ini sebagai langkah penting menuju pemilu yang lebih berkualitas dan berintegritas, serta mengajak semua pihak untuk mengawal proses ini.

Bagaimana peran Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan ini, menurut para kritikus?

keyboard_arrow_down

Menurut para kritikus, peran Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan ini dianggap telah melampaui batas kewenangannya. Mereka berpendapat bahwa MK seharusnya bertindak sebagai 'negative legislator', yaitu lembaga yang bertugas membatalkan atau menyatakan suatu undang-undang bertentangan dengan konstitusi. Namun, dalam putusan ini, MK dianggap telah bertindak sebagai 'positive legislator', yaitu mengambil alih tugas DPR RI dalam merumuskan atau mengatur penormaan undang-undang.

Anggota Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menyatakan bahwa putusan ini menimbulkan polemik karena MK dianggap melampaui kewenangannya terkait open legal policy, yaitu kebijakan hukum terbuka yang seharusnya menjadi ranah pembentuk undang-undang (DPR dan Pemerintah). Selain itu, Muhammad Khozin dari Komisi II DPR juga menyoroti peran MK yang dianggap bertransformasi menjadi lembaga perumus undang-undang, yang seharusnya tidak terjadi.

Apa langkah selanjutnya atau solusi yang diusulkan untuk mengatasi polemik putusan MK ini?

keyboard_arrow_down

Untuk mengatasi polemik dan mencari solusi terbaik atas putusan MK ini, beberapa langkah telah dan akan diambil:

  • Rapat Koordinasi DPR: Ketua DPR RI, Puan Maharani, menyatakan bahwa fraksi-fraksi di DPR akan mengadakan rapat koordinasi informal untuk membahas putusan ini, mengingat delapan fraksi masih mengkaji secara internal.
  • Rapat Dengar Pendapat Umum: Komisi III DPR RI telah mengadakan rapat dengar pendapat umum dengan sejumlah ahli hukum dan mantan hakim MK untuk mendapatkan masukan terkait penerapan putusan ini.
  • Desakan Penjelasan dari MK: Rudianto Lallo dari Komisi III DPR RI mendesak MK untuk memberikan penjelasan lebih lanjut terkait putusan ini kepada pemerintah dan DPR. Hal ini bertujuan untuk menjaga marwah MK dan mencari solusi terbaik atas polemik yang ada, terutama terkait kekosongan jabatan DPRD dan implikasi konstitusional lainnya.

Pihak-pihak terkait diharapkan dapat berdialog dan bekerja sama untuk menemukan jalan keluar yang konstitusional dan tidak menimbulkan krisis hukum atau pemerintahan.

Sumber Artikel

Berita terkini dan terbaru setiap hari. Update nasional, internasional, dan trending, cepat serta terpercaya untuk kebutuhan informasi Anda.

Now Hiring: Exceptional Talent Wanted!

Join our startup and help shape the future of AI Industry in Indonesia.

Lamar sekarang