Putusan MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Daerah, Picu Polemik Konstitusi dan Amendemen UUD

Putusan MK pisahkan pemilu nasional dan daerah memicu polemik konstitusi. Temukan reaksi KPU, DPR, dan rencana amendemen UUD 1945 terkait putusan ini.

image cover
leaderboard

Tanggal Publikasi

5 Jul 2025

update

Sumber Berita

6 sumber

newspaper

Total Artikel

13 artikel

article

Overview

MK memutuskan pemisahan pemilu nasional dan daerah mulai 2029, dengan jeda 2-2,5 tahun. Putusan ini menuai kritik karena dianggap sulit diimplementasikan dan berpotensi melanggar UUD 1945. KPU mengaku tak dimintai keterangan. DPR dan MPR akan membahas implikasinya, dengan opsi amendemen UUD atau revisi UU Pemilu. Perpanjangan jabatan kepala daerah diusulkan, sementara perpanjangan DPRD dinilai sulit.

⚖️ Putusan Mahkamah Konstitusi

  • Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memerintahkan pemisahan pemilu nasional dan pemilu daerah mulai tahun 2029.
  • Pemisahan ini akan memiliki jeda waktu 2 hingga 2,5 tahun setelah pemilu nasional.
  • Putusan ini mengabulkan sebagian permohonan dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan secara efektif menghapus model pemilu serentak 'lima kotak'.

🗣️ Reaksi dan Kritik Parlemen

  • Anggota Komisi II DPR, Muhammad Khozin, menilai putusan ini sulit diimplementasikan dan berpotensi bertentangan dengan Pasal 22E ayat 1 dan 2 UUD 1945.
  • Opsi yang muncul untuk mengatasi putusan ini adalah amendemen terbatas UUD 1945 atau memasukkannya dalam revisi UU Pemilu dengan tafsir tertentu.
  • Delapan fraksi di DPR menunjukkan beragam respons, dengan NasDem secara tegas menolak putusan ini karena dinilai inkonstitusional.
  • Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berencana mengadakan pertemuan dengan fraksi-fraksi DPR pada pekan depan untuk membahas putusan ini.

🚨 Kritik Terhadap Kewenangan MK

  • Berbagai pihak, termasuk Lestari Moerdijat (NasDem) dan Jazilul Fawaid (PKB), mengkritik MK karena dianggap melampaui kewenangannya sebagai 'negative legislator'.
  • Mantan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar menilai putusan ini melanggar konstitusi karena MK mempersoalkan hal teknis yang menjadi kewenangan pembuat undang-undang.
  • Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Nurdin Halid, menilai MK telah menciptakan norma baru dan bertentangan dengan UUD 1945, serta mendorong MPR untuk menggelar Sidang Istimewa.

🏛️ Implikasi dan Tanggapan Pemerintah

  • Ketua KPU, Mochammad Afifuddin, menyatakan KPU tidak pernah dimintai keterangan oleh MK terkait putusan ini dan sering menjadi sasaran kritik masyarakat.
  • Ketua Umum APKASI mengusulkan perpanjangan masa jabatan kepala daerah karena diatur oleh undang-undang, meskipun perpanjangan masa jabatan DPRD dinilai tidak memungkinkan.
  • Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyatakan pemerintah akan mengkaji putusan MK dan berkoordinasi dengan DPR RI.

Apa putusan utama Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sistem pemilu?

keyboard_arrow_down

Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memerintahkan pemisahan pelaksanaan pemilu nasional (pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden) dan pemilu daerah (pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah). Putusan ini secara efektif menghapus model pemilu serentak 'lima kotak' yang berlaku sebelumnya.

Kapan putusan MK mengenai pemisahan pemilu ini akan mulai berlaku?

keyboard_arrow_down

Putusan MK ini akan mulai diterapkan pada Pemilu 2029. Pemilu nasional akan dilaksanakan terlebih dahulu, diikuti oleh pemilu daerah dengan jeda waktu antara 2 hingga 2,5 tahun setelah pemilu nasional.

Siapa pihak yang mengajukan permohonan kepada MK sehingga menghasilkan putusan ini?

keyboard_arrow_down

Permohonan yang dikabulkan sebagian oleh MK ini diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).

Mengapa putusan MK ini menuai kritik dari berbagai pihak?

keyboard_arrow_down

Putusan ini menuai kritik karena beberapa alasan:

  • Potensi Bertentangan dengan UUD 1945: Anggota Komisi II DPR, Muhammad Khozin, menilai putusan ini berpotensi bertentangan dengan Pasal 22E ayat 1 dan 2 UUD 1945 yang mengatur pelaksanaan pemilu setiap lima tahun sekali.
  • Sulit Diimplementasikan: Implementasi putusan ini dinilai sulit karena belum adanya yurisprudensi mengenai penjabat sementara untuk DPRD setelah masa jabatan berakhir pada 2029.
  • MK Dianggap Melampaui Kewenangan: Banyak pihak, termasuk anggota Majelis Tinggi Partai NasDem Lestari Moerdijat dan mantan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar, mengkritik MK karena dianggap bertindak sebagai "negative legislator" yang menciptakan norma baru atau mempersoalkan hal teknis yang seharusnya menjadi kewenangan pembuat undang-undang dan penyelenggara pemilu, bukan menguji konstitusionalitas norma.
  • Tidak Melibatkan KPU: Ketua KPU, Mochammad Afifuddin, menyatakan bahwa KPU tidak pernah dimintai keterangan oleh MK terkait putusan ini, padahal KPU seringkali menjadi sasaran kritik masyarakat akibat putusan MK mengenai pemilu.

Bagaimana reaksi Komisi Pemilihan Umum (KPU) terhadap putusan MK ini?

keyboard_arrow_down

Ketua KPU, Mochammad Afifuddin, menyatakan bahwa KPU tidak pernah dimintai keterangan atau dilibatkan dalam proses persidangan terkait putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 oleh MK. KPU menyoroti bahwa mereka seringkali menjadi pihak yang menerima kritik dari masyarakat akibat putusan-putusan MK mengenai pemilu, meskipun tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusannya.

Bagaimana tanggapan fraksi-fraksi di DPR dan MPR terkait putusan MK?

keyboard_arrow_down

Putusan MK ini mendapatkan beragam reaksi dari fraksi-fraksi di DPR:

  • PDIP: Mengingatkan bahwa pemilu seharusnya dilaksanakan setiap 5 tahun sesuai UUD 1945.
  • Golkar dan PKS: Masih dalam tahap pengkajian putusan tersebut.
  • Gerindra: Menyoroti bahwa MK sering mengeluarkan putusan yang berbeda-beda terkait pemilu.
  • NasDem: Secara tegas menolak putusan ini karena dinilai inkonstitusional dan melanggar UUD 1945.
  • PKB: Mengkritik MK karena dianggap terlalu ikut campur dalam urusan legislasi dan mengusulkan agar kepala daerah dipilih oleh DPRD.
  • Demokrat: Memberikan sinyal dukungan terhadap putusan tersebut.
  • PAN: Menyoroti konsekuensi perpanjangan masa jabatan DPRD dan kepala daerah serta menilai MK telah membuat ketentuan hukum baru di luar kewenangannya.

Sementara itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berencana mengadakan pertemuan dengan fraksi-fraksi DPR untuk membahas putusan ini lebih lanjut.

Apa saja opsi atau langkah yang diusulkan untuk menindaklanjuti putusan MK ini?

keyboard_arrow_down

Untuk menindaklanjuti putusan MK ini, beberapa opsi telah muncul:

  • Amendemen Terbatas UUD 1945: Opsi ini mencakup amendemen terbatas terhadap UUD 1945, khususnya Pasal 22E, untuk mengakomodasi putusan MK tanpa menimbulkan pertentangan konstitusional.
  • Revisi UU Pemilu: Memasukkan putusan MK dalam revisi Undang-Undang Pemilu dengan tafsir tertentu. Namun, opsi ini berpotensi memicu gugatan kembali ke MK jika tafsir yang diberikan dianggap tidak sesuai.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyatakan bahwa pemerintah akan mengkaji putusan MK dan berkoordinasi dengan DPR RI untuk menentukan langkah selanjutnya.

Apa dampak potensial putusan ini terhadap masa jabatan kepala daerah dan anggota DPRD?

keyboard_arrow_down

Putusan ini menimbulkan implikasi terhadap masa jabatan:

  • Kepala Daerah: Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), Bursah Zarnubi, mengusulkan perpanjangan masa jabatan kepala daerah karena masa jabatan mereka diatur oleh undang-undang yang disusun oleh DPR dan pemerintah.
  • Anggota DPRD: Perpanjangan masa jabatan anggota DPRD dinilai tidak memungkinkan karena masa jabatan mereka diatur langsung dalam UUD 1945. Bursah Zarnubi juga menyatakan bahwa pemerintah daerah tetap dapat berjalan tanpa DPRD dengan pengawasan dari Kementerian Dalam Negeri, meskipun ini adalah skenario yang belum pernah terjadi.

Implikasi ini menunjukkan adanya potensi kekosongan atau perpanjangan jabatan yang perlu diatur lebih lanjut melalui regulasi yang sesuai.

Mengapa beberapa pihak menilai MK telah melampaui kewenangannya dalam putusan ini?

keyboard_arrow_down

Kritik bahwa MK melampaui kewenangannya didasarkan pada beberapa argumen:

  • Bertindak sebagai "Negative Legislator": Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem, Lestari Moerdijat, dan Ketua Fraksi PKB, Jazilul Fawaid, mengkritik MK karena dianggap menjadi "negative legislator" yang melampaui kewenangannya dengan mengubah desain pemilu dan ikut mengatur undang-undang, padahal seharusnya hanya menguji konstitusionalitas norma.
  • Menciptakan Norma Baru: Mantan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar dan Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Nurdin Halid, menilai putusan ini melanggar konstitusi karena MK mempersoalkan hal teknis yang menjadi kewenangan pembuat undang-undang dan penyelenggara pemilu, bukan menguji konstitusionalitas norma. Mereka berpendapat MK telah menciptakan norma hukum baru yang seharusnya menjadi domain legislatif.
  • Bertentangan dengan UUD 1945: Nurdin Halid bahkan menilai putusan ini bertentangan dengan UUD 1945 dan mendorong MPR untuk menggelar Sidang Istimewa guna mengembalikan UUD 1945 ke bentuk aslinya.

Intinya, para kritikus berpendapat bahwa MK telah memasuki ranah pembentuk undang-undang, bukan hanya sebagai pengawal konstitusi.

Sumber Artikel

Berita terkini dan terbaru setiap hari. Update nasional, internasional, dan trending, cepat serta terpercaya untuk kebutuhan informasi Anda.

Now Hiring: Exceptional Talent Wanted!

Join our startup and help shape the future of AI Industry in Indonesia.

Lamar sekarang