
Tanggal Publikasi
4 Jul 2025
Sumber Berita
8 sumber
Total Artikel
10 artikel
Overview
OJK dan Komisi XI DPR sepakat menunda penerapan co-payment asuransi kesehatan yang sedianya berlaku 1 Januari 2026, menyusul polemik SE OJK No. 7/2025. Penundaan ini memberi waktu hingga POJK yang lebih komprehensif disahkan, ditargetkan 1 Januari 2026. Co-payment mewajibkan pemegang polis menanggung minimal 10% klaim. FKBI menilai penundaan ambigu dan aturan ini memberatkan konsumen.
🏛️ Fakta Utama Penundaan Kebijakan
- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama Komisi XI DPR RI sepakat menunda penerapan kebijakan co-payment pada asuransi kesehatan yang semula akan berlaku 1 Januari 2026.
- Penundaan ini merupakan tindak lanjut dari polemik Surat Edaran (SE) OJK Nomor 7 Tahun 2025 yang mengatur kebijakan tersebut.
- Aturan co-payment mewajibkan pemegang polis menanggung minimal 10% dari total klaim, dengan batas maksimal Rp300 ribu untuk rawat jalan dan Rp3 juta untuk rawat inap per klaim.
- Kebijakan ini hanya berlaku untuk asuransi kesehatan komersial dan tidak termasuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh BPJS Kesehatan.
- Penundaan berlaku hingga ketentuan disahkan melalui Peraturan OJK (POJK) yang lebih komprehensif dan telah dikonsultasikan dengan DPR.
💡 Alasan OJK dan Industri Asuransi
- OJK menjelaskan aturan co-payment diperlukan karena kapasitas industri asuransi Indonesia yang terbatas dan untuk mencegah moral hazard.
- Kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi overutilitas layanan kesehatan agar premi asuransi menjadi lebih ekonomis.
- Regulasi ini penting untuk menjaga keberlanjutan industri asuransi kesehatan mengingat rasio klaim yang mendekati 100%.
- Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) menekankan bahwa keterjangkauan premi juga ditentukan oleh pengendalian biaya yang holistik, seperti melalui sistem managed care dan digitalisasi klaim.
🗣️ Reaksi dan Kritik Publik
- Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI) menilai rekomendasi penundaan ini ambigu dan seharusnya SE OJK No.7/2025 dibatalkan.
- FKBI berpendapat kebijakan ini melemahkan konsumen dan menjadikan mereka 'kambing hitam' atas praktik fraud atau inflasi di sektor kesehatan.
- Komisi XI DPR RI juga menyentil OJK karena aturan ini dibuat tanpa komunikasi dengan DPR dan berpotensi memberatkan masyarakat.
- FKBI menyarankan dugaan fraud seharusnya melibatkan multi-stakeholder, bukan hanya konsumen.
Apa itu kebijakan co-payment pada asuransi kesehatan?
Kebijakan co-payment adalah aturan yang mewajibkan pemegang polis asuransi kesehatan untuk menanggung sebagian dari total klaim yang diajukan. Artinya, ketika pemegang polis mengajukan klaim, mereka tidak akan ditanggung sepenuhnya oleh perusahaan asuransi, melainkan harus membayar sejumlah persentase atau nominal tertentu dari biaya layanan kesehatan.
Asuransi kesehatan jenis apa yang akan terdampak kebijakan co-payment ini?
Kebijakan co-payment ini hanya berlaku untuk asuransi kesehatan komersial. Penting untuk dicatat bahwa kebijakan ini tidak termasuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan. Jadi, peserta BPJS Kesehatan tidak akan terpengaruh oleh aturan co-payment ini.
Kapan seharusnya kebijakan co-payment ini mulai berlaku?
Kebijakan co-payment ini semula direncanakan akan mulai berlaku pada 1 Januari 2026, berdasarkan Surat Edaran (SE) OJK Nomor 7 Tahun 2025.
Mengapa penerapan kebijakan co-payment ditunda?
Penerapan kebijakan co-payment ditunda karena beberapa alasan:
- Polemik dan Penolakan: Surat Edaran (SE) OJK Nomor 7 Tahun 2025 yang mengatur co-payment menimbulkan polemik dan kekhawatiran di masyarakat, terutama dari sisi konsumen.
- Kurangnya Konsultasi: Komisi XI DPR RI menyentil OJK karena aturan ini dibuat tanpa komunikasi dan konsultasi yang memadai dengan DPR, serta berpotensi memberatkan masyarakat.
- Kebutuhan Aturan Komprehensif: Penundaan ini dilakukan untuk memberikan waktu bagi OJK agar dapat menyusun Peraturan OJK (POJK) yang lebih komprehensif dan telah dikonsultasikan dengan DPR, sehingga aturan yang berlaku nantinya lebih matang dan diterima semua pihak.
Siapa saja pihak yang terlibat dalam keputusan penundaan kebijakan co-payment ini?
Keputusan penundaan kebijakan co-payment ini merupakan kesepakatan bersama antara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Penundaan ini merupakan tindak lanjut dari Rapat Kerja Komisi XI DPR RI dengan OJK.
Berapa besaran co-payment yang diatur dalam kebijakan ini?
Aturan co-payment ini mewajibkan pemegang polis menanggung minimal 10% dari total klaim. Namun, ada batas maksimal yang ditetapkan:
- Untuk rawat jalan: batas maksimal co-payment adalah Rp300 ribu per klaim.
- Untuk rawat inap: batas maksimal co-payment adalah Rp3 juta per klaim.
Apa alasan OJK menganggap kebijakan co-payment diperlukan?
OJK menjelaskan bahwa aturan co-payment diperlukan untuk beberapa alasan utama:
- Kapasitas Industri Asuransi Terbatas: Industri asuransi di Indonesia memiliki kapasitas yang terbatas, sehingga diperlukan mekanisme untuk menjaga keberlanjutan finansialnya.
- Mencegah Moral Hazard: Co-payment diharapkan dapat mencegah perilaku moral hazard, yaitu kecenderungan pemegang polis untuk memanfaatkan layanan kesehatan secara berlebihan karena merasa semua biaya ditanggung asuransi.
- Mengurangi Overutilitas Layanan Kesehatan: Dengan adanya co-payment, diharapkan penggunaan layanan kesehatan yang tidak perlu atau berlebihan dapat berkurang.
- Menjaga Premi Lebih Ekonomis: Dengan terkendalinya klaim dan penggunaan layanan, premi asuransi diharapkan dapat tetap terjangkau dan ekonomis bagi pemegang polis.
- Menjaga Keberlanjutan Industri: Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK, Ogi Prastomiyono, menambahkan bahwa regulasi ini penting untuk menjaga keberlanjutan industri asuransi kesehatan mengingat klaim ratio yang mendekati 100%.
Bagaimana tanggapan berbagai pihak terhadap kebijakan co-payment ini?
Tanggapan terhadap kebijakan co-payment ini bervariasi:
- Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI): FKBI menilai rekomendasi penundaan ini ambigu dan seharusnya OJK membatalkan SE OJK No.7/2025. Mereka berpendapat bahwa kebijakan ini melemahkan konsumen dan menjadikan mereka 'kambing hitam' atas praktik fraud atau inflasi di sektor kesehatan. FKBI juga berpendapat bahwa dugaan fraud seharusnya melibatkan multi-stakeholder, bukan hanya konsumen.
- Komisi XI DPR RI: Komisi XI DPR RI menyentil OJK karena aturan ini dibuat tanpa komunikasi yang memadai dengan DPR dan berpotensi memberatkan masyarakat.
- Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI): Ketua Umum AAUI, Budi Herawan, menekankan bahwa keterjangkauan premi tidak hanya ditentukan oleh co-payment, tetapi juga oleh pengendalian biaya yang holistik, seperti melalui sistem managed care, digitalisasi klaim, dan edukasi nasabah. AAUI berkomitmen mendukung OJK dalam merumuskan kebijakan inovatif untuk keberlanjutan industri dan perlindungan pemegang polis.
Kapan target penyelesaian Peraturan OJK (POJK) yang baru terkait co-payment?
Target penyelesaian Peraturan OJK (POJK) yang lebih komprehensif terkait co-payment adalah 1 Januari 2026. POJK ini akan menjadi dasar hukum yang lebih kuat dan telah dikonsultasikan dengan DPR.
Bagaimana dampak penundaan ini terhadap produk asuransi yang sudah ada?
Meskipun target penyelesaian POJK baru adalah 1 Januari 2026, akan ada masa penyesuaian hingga 31 Desember 2026 untuk produk asuransi yang sudah ada (eksisting). Ini berarti perusahaan asuransi memiliki waktu untuk menyesuaikan produk mereka dengan ketentuan baru yang akan disahkan dalam POJK.
Masih Seputar ekonomi
BSU 2025 Rp600 Ribu Cair: Panduan Lengkap Cek Status dan Pencairan di Pospay
sekitar 1 jam yang lalu

Indonesia Genjot Impor AS Rp550 Triliun, Targetkan Tarif Lebih Rendah dari Vietnam
sekitar 1 jam yang lalu

Target Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2025 Resmi Dipangkas Jadi 5 Persen
sekitar 4 jam yang lalu

Perekonomian Indonesia Hadapi Tekanan Konflik Global dan Fluktuasi Harga Minyak
sekitar 4 jam yang lalu

Pemerintah Tetapkan Elpiji 3 Kg Satu Harga Nasional Mulai 2026, Pertamina Pelaksana
sekitar 7 jam yang lalu

Sri Mulyani Umumkan Seleksi Ketua dan Anggota DK LPS 2025-2030, Dijamin Transparan
sekitar 10 jam yang lalu

Investasi Rp 8.297 Triliun Dibutuhkan Indonesia Capai Target Ekonomi 6,3% 2026
sekitar 10 jam yang lalu
/data/photo/2025/05/05/68187bae2f6a9.jpg&output=webp&q=30&default=https://asset.kompas.com/crops/jtIyx3JnMTSWl4u-vw2uSyD7tH4=/0x61:1280x914/780x390/filters:watermark(data/photo/2020/03/10/5e6775b1d85b4.png,0,-0,1)/data/photo/2025/05/05/68187bae2f6a9.jpg)
Prabowo Raih Kesepakatan Investasi Rp437 Triliun dari Arab Saudi, Dorong Energi Bersih
sekitar 13 jam yang lalu

IHSG Menguat Pagi Didorong Antisipasi IPO Massal, Namun Ditutup Melemah Tipis
sekitar 13 jam yang lalu

DPR Resmi Setujui Penggunaan SAL Rp85,6 Triliun untuk Tutupi Defisit APBN 2025
1 hari yang lalu

Sumber Artikel
Berita Terbaru

Film 'Hanya Namamu Dalam Doaku' Ungkap Kisah ALS, Vino G Bastian Dalami Peran
Patung Superman Raksasa Hiasi London, Sambut Film Reboot DC Universe

Redmi Pad 2 Resmi Hadir di Indonesia, Tablet Layar 2.5K Harga Mulai Rp2 Jutaan

Menteri UMKM Maman Abdurrahman Klarifikasi Perjalanan Istri ke Eropa, Tegaskan Pakai Uang Pribadi

Putusan MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Lokal Picu Polemik Konstitusi di DPR
Trending

Rekomendasi Laptop dan Tablet Terbaik 2025: Pilihan Lengkap untuk Segala Kebutuhan

Bintang Liverpool Diogo Jota Meninggal Dunia Tragis Akibat Kecelakaan Mobil di Spanyol

Putusan MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Lokal Picu Polemik Konstitusi di DPR

Putusan MK Pisahkan Pemilu 2029, DPR dan Pemerintah Kaji Dampak Konstitusional

Diogo Jota Bintang Liverpool Meninggal Tragis Kecelakaan Mobil Bersama Adik di Spanyol
Berita terkini dan terbaru setiap hari. Update nasional, internasional, dan trending, cepat serta terpercaya untuk kebutuhan informasi Anda.
Now Hiring: Exceptional Talent Wanted!
Join our startup and help shape the future of AI Industry in Indonesia.