Konflik Iran-Israel Panaskan Harga Minyak, Ekonomi Indonesia Terancam Inflasi dan Subsidi

Asumsi harga minyak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 adalah 82 dolar AS per barel. Namun, dalam skenario terburuk yang diperkirakan oleh Oxford Economics, harga minyak global berpotensi mencapai 130 dolar AS per barel.

Sebagai negara importir minyak mentah, Indonesia akan menghadapi potensi kenaikan beban subsidi energi. Setiap kenaikan 1 dolar AS pada harga minyak ICP (Indonesian Crude Price) dapat meningkatkan beban subsidi energi sebesar Rp 1,5 triliun per tahun. Hal ini tentu akan menekan APBN Indonesia.

Selain harga minyak, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyoroti dampak konflik pada harga komoditas secara umum, nilai tukar mata uang, suku bunga negara maju, dan arus modal asing. Ketidakpastian perdagangan antara Amerika Serikat dan China juga dapat mendorong kenaikan suku bunga global. Sektor perindustrian di Indonesia juga mulai merasakan tekanan dari lonjakan harga energi, biaya logistik, dan fluktuasi nilai tukar rupiah.

Stagflasi adalah kondisi ekonomi di mana terjadi inflasi tinggi, pertumbuhan ekonomi yang stagnan, dan tingkat pengangguran yang tinggi secara bersamaan. Ekonom UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, memperingatkan potensi stagflasi bagi Indonesia akibat gangguan pasokan minyak dari Selat Hormuz. Selat ini sangat vital karena memfasilitasi 20% ekspor minyak dan 30% ekspor-impor gas alam global. Gangguan di sana dapat menyebabkan kelangkaan pasokan energi dan kenaikan harga yang drastis, yang pada gilirannya dapat menghambat produksi dan konsumsi domestik.

Pertamina telah meningkatkan kewaspadaan dan melakukan pemantauan rutin terhadap situasi geopolitik. Mereka juga menyiapkan rencana kontingensi untuk menghadapi potensi gangguan pasokan minyak, termasuk mencari dan menggunakan rute pengiriman alternatif guna memastikan pasokan energi di dalam negeri tetap aman dan stabil.

Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, mendesak pemerintah untuk segera mengamankan pasokan minyak bumi dan gas alam dengan merevisi kontrak bersama mitra dagang. Selain itu, pemerintah juga mendorong pengusaha industri untuk melakukan efisiensi energi dan diversifikasi sumber energi. Ini termasuk pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) dan limbah produksi sebagai alternatif bahan bakar untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil.

Konflik ini menyebabkan penurunan tajam indeks saham global pada 13 Juni 2025. Indeks PMI Manufaktur global juga turun menjadi 49,6, dengan Indonesia mencatat angka 47,4. Dana Moneter Internasional (IMF) merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2025 menjadi 1,7% dan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,7%, menunjukkan adanya dampak negatif terhadap prospek ekonomi.